DO alias drop out merupakan
istilah yang tak asing lagi di telinga mahasiswa dan pelaku pendidikan lainnya.
Berbagai wacana tentang DO banyak bermunculan , yang dibahaspun beragam. Ada
yang membahas penyebab dan akibat, kekeras kepalaan pihak kampus yang tak
memandang sisi kemanusiaan, kebijakan
kampus secara sepihak, dan masih banyak lagi. Layaknya tema suatu cerpen atau
novel yang semakin hari semakin berkembang, tema yang diangkat untuk membahas
DO pun ternyata mengalami perkembangan. Hal ini terjadi akibat semakin
canggihnya pihak kampus dalam memanipulasi proses droup out mahasiswa. Tema
yang tengah buming adalah DO ‘PAKSA’, yah, tema yang tengah naik daun di kampus
tercinta kita, UNIVERSITAS PENDIDIKAN
INDONESIA.
Berdasarkan data yang diterima
BEM REMA UPI,tercatat ada enam mahasiswa UPI yang terancam di DO PAKSA.
Masing-masing mahasiswa tersebut berasal dari FPTK, FPBS dan FPEB. Secara umum,
penyebab dari permasalahan ini adalah mahasiswa yang bersangkutan tidak
melakukan registrasi akademik sebanyak dua kali. Disisi ini, mahasiswa memang
salah, namun apakah pure 100% kesalahan mahasiswa? Tentu tidak. Pihak kampus
turut andil dalam kasus ini, pasalnya, ketidaktegasan pihak kampus dalam
penegakkan peraturan sistem akademik inilah yang menjadi sumber masalah.
Salah satu ketidaktegasan kampus
dapat kita amati dari buku pedoman akademik (hal.29 tahun 2012) tentang kehilangan status
mahasiswa yang berbunyi ‘mahasiswa kehilangan status mahasiswanya atau gelar
sarjananya apabila tidak melakukan registrasi administrasi dan cuti akademik
pada waktu yang telah ditentukan’. Pasal dua dari pedoman akademik ini dapat
dikatakan ambigu, lantaran disana tidak ada kejelasan dari jumlah registrasi maksimal. Lalu, apakah
pantas hanya dengan bermodalkan buku pedoman akademik yang ambigu, pihak kampus
yakin bahwa memang hanya pihak mahasiswa yang salah? Dan merasa benar dengan
telah menyebarkan buku pedoman akademik saja?
Contoh lain yang dapat kita amati
adalah, sebelum munculnya kasus ini, pernah ada beberapa kasus yang hampir
serupa yaitu, mahasiswa tidak melakukan registrasi akdemik dan terancam
kehilangan status kemahasiswaannya. Namun, atas kebijakan pihak rektorat, mahasiswa
tersebut dapat memperoleh kembali status mahasiswanya dengan mendapatkan sanksiyaitu, cuti selama
satu semester dan dibebani biaya registrasi sebesar 20% untuk masa cuti. Namun,
seiring terjadinya perpindahan kekuasaan dalam tubuh rektorat, kebijakan ini
seakan lenyap dari peredaran. Keputusan akhir untuk mahasiswa yang tidak
melakukan registrasi akademik adalah DROP OUT ’PAKSA’
!kebijakan aneh tanpa mensosialisasikan terlebih dahulu kepada pihak yang
menjadi objek. Kebijakan ini bukan isapan jempol belaka,pasalnya, mahasiswa yang
bersangkutan mengakui bahwa dirinya telah mengajukan permohonan pada dosen PA
untuk mengaktifkan kembali status mahasiswanya. Dosen PA pun langsung
meneruskan ke pihak jurusan dan fakultas, merekapun mengambil keputusan final untuk mengaktifkan kembali
status mahasiswa yang bersangkutan. Namun, apa yang terjadi ketika surat itu
diteruskan kepihak rektorat? Surat pengunduran
dirilah jawabannya. Sebuah langkah ‘cerdas ‘ untuk mengharumkan nama kampus
dari keburukannya. Dengan dikeluarkannya
surat pengunduran diri ini, pihak kampus secara ‘halus ’men DO mahasiswanya
tanpa ketahuan kekejaman yang tersembunyi dibalik itu. Dapat kita pahami, hal
ini diambil pihak rektorat agar janji Rektor yang diikrarkan pada setiap MOKA
UPI yaitu ‘tidak akan ada mahasiswa UPI yang di DO akibat masalah ekonomi ’,
dapat ‘terbukti’ .
Diskriminasi terhadap mahasiswa
terpampang nyata, kawan !
Lihatlah, ketidaktegasan
peraturan dan birokrasi yang pincang
turut andil dalam kasus ini. Lalu, apakah pantas hanya mahasiswa saja yang
diberikan sanksi atas kesalahan dari pihak kampus juga?
Tidak! Seharusnya , pihak kampus
berbenah diri terlebih dahulu terhadap setiapkebijakan yang diambil baru
menyalahkan pihak yang bersalah . Hal
aneh, jika orang yang salah, menyalahkan kesalahan orang lain yang sumbernya
itu justru dari mereka yang menyalahkan. Dihilangkannya kebijakan lama kampus
untuk kasus mahasiswa yang tidak melakukan registrasi merupakan langkah awal
baik dari pihak kampus untuk berbenah diri. Namun, kembali yang menjadi
pertanyaan, apakah mereka sudah yakin akan kebijakan baru ini tersosialisasi
dengan baik keseluruh warga kampus? Dan apakah pihak kampus cuci tangan, dengan
seenaknya mengeluarkan surat pengunduran diri tersebut? Apa sebenarnya motif
dibalik keluarnya surat pengunduran diri ini?Ingin bersih setelah melakukan hal
tak bersih?
Sekarang jelas, mahasiswa dan
pihak kampus sama-sama dirugikan dan merugikan. Sudah sepantasnya keduanya pun berbenah diri. Sehingga , tidak mahasiswa
saja yang selalu disalahkan.
Kami bukan anak ingusan yang bisa terima
begitu saja perlakuan tak adil ini. Kami maju selama kami benar. Dan kamipun
akan mengakui kesalahan jika kami memang bersalah. Kami bukan pecundang yang duduk santai disinggasana kerajaan,menikmati
segala kenyamanan yang diberikan tanpa
memikirkan nasib saudara kami yang kebingungan.
Dukungan kami, merupakan bentuk nyata kepedulian kami !
HIDUP MAHASISWA !!!
Departemen Sosial Politik
BEM HMK FPMIPA UPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar