Laman

Selasa, 19 Maret 2013

DO ‘PAKSA’ : DISKRIMINASI MAHASISWA TERPAMPANG NYATA



DO alias drop out merupakan istilah yang tak asing lagi di telinga mahasiswa dan pelaku pendidikan lainnya. Berbagai wacana tentang DO banyak bermunculan , yang dibahaspun beragam. Ada yang membahas penyebab dan akibat, kekeras kepalaan pihak kampus yang tak memandang sisi kemanusiaan,  kebijakan kampus secara sepihak, dan masih banyak lagi. Layaknya tema suatu cerpen atau novel yang semakin hari semakin berkembang, tema yang diangkat untuk membahas DO pun ternyata mengalami perkembangan. Hal ini terjadi akibat semakin canggihnya pihak kampus dalam memanipulasi proses droup out mahasiswa. Tema yang tengah buming adalah DO ‘PAKSA’, yah, tema yang tengah naik daun di kampus tercinta kita, UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA.

Berdasarkan data yang diterima BEM REMA UPI,tercatat ada enam mahasiswa UPI yang terancam di DO PAKSA. Masing-masing mahasiswa tersebut berasal dari FPTK, FPBS dan FPEB. Secara umum, penyebab dari permasalahan ini adalah mahasiswa yang bersangkutan tidak melakukan registrasi akademik sebanyak dua kali. Disisi ini, mahasiswa memang salah, namun apakah pure 100% kesalahan mahasiswa? Tentu tidak. Pihak kampus turut andil dalam kasus ini, pasalnya, ketidaktegasan pihak kampus dalam penegakkan peraturan sistem akademik inilah yang menjadi sumber masalah.

Salah satu ketidaktegasan kampus dapat kita amati dari buku pedoman akademik (hal.29  tahun 2012) tentang kehilangan status mahasiswa yang berbunyi ‘mahasiswa kehilangan status mahasiswanya atau gelar sarjananya apabila tidak melakukan registrasi administrasi dan cuti akademik pada waktu yang telah ditentukan’. Pasal dua dari pedoman akademik ini dapat dikatakan ambigu, lantaran disana tidak ada kejelasan dari  jumlah registrasi maksimal. Lalu, apakah pantas hanya dengan bermodalkan buku pedoman akademik yang ambigu, pihak kampus yakin bahwa memang hanya pihak mahasiswa yang salah? Dan merasa benar dengan telah menyebarkan buku pedoman akademik saja?

Contoh lain yang dapat kita amati adalah, sebelum munculnya kasus ini, pernah ada beberapa kasus yang hampir serupa yaitu, mahasiswa tidak melakukan registrasi akdemik dan terancam kehilangan status kemahasiswaannya. Namun, atas kebijakan pihak rektorat, mahasiswa tersebut dapat memperoleh kembali status mahasiswanya  dengan mendapatkan sanksiyaitu, cuti selama satu semester dan dibebani biaya registrasi sebesar 20% untuk masa cuti. Namun, seiring terjadinya perpindahan kekuasaan dalam tubuh rektorat, kebijakan ini seakan lenyap dari peredaran. Keputusan akhir untuk mahasiswa yang tidak melakukan registrasi akademik adalah DROP OUT ’PAKSA’ !kebijakan aneh tanpa mensosialisasikan terlebih dahulu kepada pihak yang menjadi objek. Kebijakan ini bukan isapan jempol belaka,pasalnya, mahasiswa yang bersangkutan mengakui bahwa dirinya telah mengajukan permohonan pada dosen PA untuk mengaktifkan kembali status mahasiswanya. Dosen PA pun langsung meneruskan ke pihak jurusan dan fakultas, merekapun mengambil  keputusan final untuk mengaktifkan kembali status mahasiswa yang bersangkutan. Namun, apa yang terjadi ketika surat itu diteruskan kepihak rektorat? Surat pengunduran dirilah jawabannya. Sebuah langkah ‘cerdas ‘ untuk mengharumkan nama kampus dari  keburukannya. Dengan dikeluarkannya surat pengunduran diri ini, pihak kampus secara ‘halus ’men DO mahasiswanya tanpa ketahuan kekejaman yang tersembunyi dibalik itu. Dapat kita pahami, hal ini diambil pihak rektorat agar janji Rektor yang diikrarkan pada setiap MOKA UPI yaitu ‘tidak akan ada mahasiswa UPI yang di DO akibat masalah ekonomi ’, dapat ‘terbukti’ .

Diskriminasi terhadap mahasiswa terpampang nyata, kawan !

Lihatlah, ketidaktegasan peraturan  dan birokrasi yang pincang turut andil dalam kasus ini. Lalu, apakah pantas hanya mahasiswa saja yang diberikan sanksi atas kesalahan dari pihak kampus juga?

Tidak! Seharusnya , pihak kampus berbenah diri terlebih dahulu terhadap setiapkebijakan yang diambil baru menyalahkan pihak yang bersalah  . Hal aneh, jika orang yang salah, menyalahkan kesalahan orang lain yang sumbernya itu justru dari mereka yang menyalahkan. Dihilangkannya kebijakan lama kampus untuk kasus mahasiswa yang tidak melakukan registrasi merupakan langkah awal baik dari pihak kampus untuk berbenah diri. Namun, kembali yang menjadi pertanyaan, apakah mereka sudah yakin akan kebijakan baru ini tersosialisasi dengan baik keseluruh warga kampus? Dan apakah pihak kampus cuci tangan, dengan seenaknya mengeluarkan surat pengunduran diri tersebut? Apa sebenarnya motif dibalik keluarnya surat pengunduran diri ini?Ingin bersih setelah melakukan hal tak bersih?

Sekarang jelas, mahasiswa dan pihak kampus sama-sama dirugikan dan merugikan. Sudah sepantasnya keduanya pun berbenah diri. Sehingga , tidak mahasiswa saja yang selalu disalahkan.

 Kami bukan anak ingusan yang bisa terima begitu saja perlakuan tak adil ini. Kami maju selama kami benar. Dan kamipun akan mengakui kesalahan jika kami memang bersalah. Kami bukan pecundang yang duduk santai disinggasana kerajaan,menikmati segala kenyamanan yang diberikan tanpa  memikirkan nasib saudara kami yang kebingungan.
Dukungan kami, merupakan bentuk nyata kepedulian kami !

HIDUP MAHASISWA !!!



Departemen Sosial Politik
BEM HMK FPMIPA UPI




Tidak ada komentar:

Posting Komentar